Edisi 1910
- Mencintai dan mengagungkanNabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kewajiban bagi setiap muslim
- Seorang muslim diwajibkanuntuk mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melebihi kecintaannya kepada dirinya, orang tua, anak, dan seluruh manusia di dunia ini.
- Kesempurnaandalam mencintai Nabi akan terealisasi dengan mentaati dan mengamalkan seluruh tuntunan beliau dalam beribadah kepada Allah dan meneladani akhlak beliau dalam berinteraksi dengan orang lain
- Syarat diterimanyaamal ibadah seorang muslim adalah ikhlas karena Allah Ta’ala dan mengikuti tuntunan Nabi
“Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa kalian”
(Q.S. Ali Imran : 31)
—
Mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kewajiban bagi setiap muslim. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidaklah sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintai melebihi cintanya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia”. (H.R. Bukhari)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa seorang muslim diwajibkan untuk mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melebihi kecintaannya kepada dirinya, orang tua, anak, dan seluruh manusia di dunia ini.
Sahabat Abdullah bin Hisyam radhiallahu ‘anhu pernah bercerita,
Kami pernah mengiringi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau memegang tangan Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu. Kemudian, Umar berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah!, sesungguhnya engkau sangat aku cintai melebihi kecintaanku kepada siapapun, kecuali kepada diriku sendiri”.
Nabi shallallahu wasallam menjawab, “Tidak! Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku lebih kamu cintai melebihi dirimu sendiri”. Kemudian, Umar berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sungguh, Demi Allah, sekarang engkau aku cintai melebihi diriku sendiri”. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sekarang engkau benar wahai Umar!.” (H.R. Bukhari)
Memaknai Cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Mencintai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki konsekuensi untuk selalu mengagungkan beliau, meneladani beliau, mentaati perintah beliau, dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Imam al-Qadhi Iyadh rahimahullah pernah berkata,
“Bukti cinta seseorang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab yang beliau shallallahu alaihi wasallam contohkan dalam keadaan susah maupun senang, dan dalam keadaan lapang maupun sempit.” (Asy-Syifa Bita’riifi Huquuqil Mushthafa, 2/24).
Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki beberapa konsekuensi sebagai berikut:
- Mengagungkan dan memuliakanbeliau shallallahu alaihi wasallam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui”. (Q.S. Al Hujurat : 1)
- Mentaati segala sesuatuyang diperintahkan oleh beliau shallallahu ‘alahi wasallam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (Q.S. An Nisa : 13).
- Membenarkansegala sesuatu yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Q.S. An Najm : 3-4)
- Menjauhisegala sesuatu yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya dari kalian maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Q.S. Al Hasyr : 7)
- Menjalankan ibadahsesuai dengan tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Katakanlah: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Ali Imran : 31)
Menyempurnakan Cinta Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki dua tingkatan, yaitu tingkatan fardhu (wajib) dan fadhl (utama).
- Tingkatan fardhu(wajib) adalah kecintaan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan menerima dan mentaati semua tuntunan ibadah yang disampaikan oleh beliau dengan penuh rasa cinta, ridho, dan patuh, serta tidak mencari petunjuk selain dari tuntunan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
- Tingkatan fadhl(utama) adalah kecintaan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan meneladani beliau dalam tingkah laku, adab, dan akhlak beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berinteraksi dengan orang lain (Istinyaaqu Nasiimil Unsi Min Nafahaati Riyaadhil Qudsi hal. 34)
Kesempurnaan dalam mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam akan terealisasi dengan mentaati dan mengamalkan seluruh tuntunan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beribadah kepada Allah Ta’ala dan meneladani akhlak beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berinteraksi dengan orang lain.
Beramal Sesuai Tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
Syarat diterimanya amal ibadah seorang muslim adalah ikhlas karena Allah Ta’ala dan mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shaleh dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (Q.S. Al Kahfi : 110)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “amal shaleh” pada ayat tersebut adalah amal ibadah yang sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan yang dimaksud dengan ayat “jangan mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-nya” adalah ikhlas karena Allah Ta’ala. (Tafsir Al-Qur’anul Adzhim, 9/205).
Larangan Berbuat Perkara Baru Dalam Agama
Perbuatan yang baru dan tidak ada tuntunan dari Nabi dalam agama islam adalah perbuatan yang terlarang (haram), karena setiap amal ibadah harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan baru yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (H.R. Muslim)
Orang yang Terusir dari Telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Salah satu kenikmatan terbesar bagi seorang muslim adalah meminum air dari telaga (al-Haudh) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
“Aku menunggu kalian di al-Haudh. Barangsiapa yang mendatanginya, dia akan meminum air darinya. Dan barangsiapa yang meminum airnya, dia tidak akan haus selamanya” (H.R. Bukhari)
Namun, suatu saat nanti akan ada salah satu golongan umat islam yang terusir dari telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu orang-orang yang berbuat bid’ah. Sebagaimana sabda shallallahu alaihi wasallam,
Aku akan mendahului kalian di al-Haudh (telaga). Kemudian, dinampakkan dihadapanku beberapa orang dari kalian. Kemudian, ketika aku akan mengambilkan minum untuk mereka dari al-Haudh, mereka dijauhkan dariku. Kemudian, aku berkata, “Wahai Rabbku, mereka adalah umatku”. Lalu, Allah Ta’ala berfirman, “Engkau sebenarnya tidak mengetahui perbuatan bid’ah yang mereka lakukan sepeninggalmu.” (H.R. Bukhari)
Dalam riwayat lain, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“(Wahai Rabbku), mereka adalah umatku”. Kemudian Allah Ta’ala berfirman, “Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengubah ajaranmu sepeninggalmu”. Kemudian, Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengubah ajaranku sepeninggalku.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Abdil Bar rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang berbuat bid’ah dalam masalah agama akan dijauhkan dari telaga al-Haudh.” (Syarah Shahih Muslim, 3/122)
Semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahan bagi kita untuk senantiasa mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengikuti sunnah beliau, meneladani beliau, mentaati perintah beliau, dan menjauhi segala sesuatu yang dilarang oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ditulis : Muhammad Lutfi (Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta)
Dimurajaah : Ustaz Abu Salman, B.I.S.